Selasa, 01 Maret 2011

JOKI MASA KINI

emp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_editdata.mso" rel="Edit-Time-Data">

         
Tak seperti biasanya. Kegemaran bermalas-malasan yang sudah menjadi kebiasaan selama kurang lebih tujuh belas tahun ternyata dapat kutangguhkan hari ini. Terang saja ada raut keheranan di wajah Mama saat aku keluar dari kamar dan langsung menyabet handuk di rak depan kamar mandi. Ya, sengaja aku bangun lebih pagi karena hari ini dilaksanakan ujian nasional. Serangkaian persiapan telah aku lakukan.
 Setelah semua persiapan selesai  aku menuju meja makan. Dengan tergesa-gesa aku lahap makanan yang disiapkan Mama sejak subuh tadi kemudian mencium tangannya yang halus dan mengucapkan salam.  Kukayuh sepeda diiringi alunan musik pop rock yang mengalun dari headset yang tak pernah lepas dari telingaku. Hari ini jalanan masih sangat sepi berbeda dari hari-hari biasanya. Hembusan angin yang kencang menemani keberangkatanku dengan semangat untuk mencapai tujuan.
Akhirnya aku tiba di sekolah tepat pukul enam pagi. Kukira gerbangnya belum dibuka ternyata dugaanku salah. Bukan hanya aku saja yang datang sepagi ini. Bukan tanpa alasan aku berangkat sepagi ini melainkan karena adat sekolahku yang mendentangkan bel tanda masuk ruangan setengah jam sebelum ujian nasional dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan seperti ada kelengkapan ujian nasional yang tertinggal dan keterlambatan siswa yang mempengaruhi mental dalam pengerjaan soal ujian. Sekolahku memang tidak main-main dalam pelaksanaan ujian nasional. Maka dari itu, meskipun aku adalah anak yang super malas berangkat sepagi ini akhirnya kulakoni juga. Lagi pula ini sudah kesepakatan genk. Jasa Mang Asep pun ku abaikan dan aku memilih pergi bersama sepedaku.
Meskipun jalanan masih sepi namun tak bisa dipungkiri bahwa asap kendaraan sudah tercium dan mengepul dimana-mana. Semua hal sudah dibuat otomatis dengan menggabungkan teknologi modern dan kendaraan hingga sepeda yang biasanya memakai jasa manusia kini sudah tidak usah takut untuk lelah akibat mengayuh. Dengan sedemikian rupa sepeda dimodifikasi hingga dapat menjadi sepeda otomatis pula. Cukup dengan mencharger bagian yang disebut seperti baterai sepeda sudah bisa berjalan kurang lebih 10 km/jam dengan kecepatan mencapai 60 km/jam. Namun, ada solusi untuk pengawetan baterai tersebut yakni dengan mengayuh sepeda tersebut. Sama seperti sepeda yang aku pakai saat ini. Otomatis dan modern. 
 Aku menuju ke parkir sepeda dan meletakkan sepeda di tempat yang strategis sembari melepas headset yang kupakai dari rumah.  Tak kusangka, ini benar-benar sangat pagi. Buktinya di sepanjang koridor sekolah belum ada siswa yang terlihat berseliweran. Pak Dorman tukang kebun di sekolah sudah siap untuk melaksanakan tugasnya dengan berbagai perlengkapan.
“Kalau akhirnya seperti ini males banget aku berangkat sepagi ini. Anak-anak aja belum pada datang. Mau ngapain aku? Huh…”keluhku sambil memasang kembali headset yang telah kulepas saat di parkiran tadi.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya virus bosan mulai menyerangku.
“Bosan banget sih hari ini. Udah dibela-belain berangkat pagi. Eh nggak tahunya belum pada datang. Masih sepi gini, terus ngapain enaknya? Ke ruang tunggu aja kali ya nonton. Mungkin ada channel yang bagus. Tapi ntar kalau kepergok guru bisa mampus aku. Masak mau ujian bukannya belajar malah nonton tv nggak jelas. Duh, gimana nih? Males banget kalau harus belajar. Sialan banget anak-anak. Tega-teganya ngerjain aku,”kataku sambil ngedumel nggak jelas.
“Duar…”teriak beberapa orang tiba-tiba yang datang dari belakangku dan mengagetkanku hingga membuyarkan semua unek-unek.
“Gila banget, kalian apa-apaan sih? Nggak tahu apa kalau ada orang lagi bingung disini. Untung aja aku nggak punya penyakit jantung.”
“Sengaja,”sahut keduanya.
“Tega banget sih sama temen sendiri,”kataku melas.
“Dewi, Dewi. Emang dasar Dewi ya. Kalau udah Dewi mau diapain lagi. Susah banget bangunin kamu.”
“Maksud kamu apa sih?”
“Sudah to, niat kita baik kok ngerjain kamu. Kita cuma nggak pengen lihat kamu telat hari ini. Ini kan hari pertama kita ujian. Maksud Idhoh ngebangunin itu biar kamu sadar kalau kita itu udah mau lulus. Jadi tinggal dikit lagi habis itu go out dari sekolah ini dan kamu nggak bakalan dapat predikat siswa telatan,OK?”
“Ya kalau gitu nggak harus kayak gini dong caranya. Aku udah bela-belain bangun pagi. Eh nggak tahunya sepi banget di sekolah. Udah gitu tiba-tiba kalian datang sambil ngendap-ngendap dan ngagetin aku. Gimana nggak shock coba? Emang sial banget aku hari ini. Awas aja kalau nanti pas ujian sial lagi.”
“Sudah, Dew. Ndak baik ngomong seperti itu. Kalau nanti sial lagi yowes terima saja. Udah takdir kamu begitu kok,”celetuk Yuslisul tiba-tiba rada encer.
“Dengerin tuh! Tumben otak kamu rada encer, Yus?”sindir Idhoh.
“Baru tahu saja kamu, Dhoh. Mosok selamanya aku mau jadi lola alias loading lama. Ya ndak mau aku. Kita hidup di zaman yang sudah serba otomatis kawan. Jadi ya jangan jadi bloon.”
Dewi dan Idhoh cekikikan.
“Eh tumben banget jam segini Vivi belum datang. Kemana dia?”
“Iya ya, kok sudah jam segini dia belum datang. Wah jangan-jangan dia bangun kesiangan. Pasti belajarnya sampai larut malam.”
“Emang kebiasaan tuh si Vivi. Sukanya belajar melulu sampai makin tebal aja kacamatanya. Apa dia nggak capek, ya?”
“Bodo banget, ngapain ngurusin dia. Kalau aku ya cuek aja. Nikmatin hari aja guys.”
Emang udah jadi tabiat Vivi. Selalu rajin belajar tanpa menyisakan waktu buat main. Apalagi menjelang ujian nasional. Nyaris nggak ada kegiatan selain belajar. Dia memang smart tapi pelitnya minta ampun. Tiba-tiba dari lobi terlihat wajah Vivi. Dia berlari sembari membawa helm di tangan kirinya dan sebuah buku di tangan kanannya. Datang di hadapanku dan teman-teman dengan nafas yang ngos-ngosan.  
“Aduh… aku capek…,”katanya sambil membetulkan letak kacamatanya.”
“Tenang, Vi! Tenang dulu! Duduk!”
“Walah, ada apa to ini? Kok baru datang sudah keringetan begitu. Dikejar satpam to?”tanya Yuslisul dengan culunnya.
“Eh Yus, beliin minum sono!”perintah Dewi rada panik.
Ndak usah beli. Aku bawa kok. Ini minumnya,”kata Yuslisul sambil memberikan botol minuman ke Dewi.
“Minum dulu, Vi! Biar kamu tenang,”kata Idhoh menenangkan.
Vivi mengambil botol minuman Yuslisul dari tangan Dewi dan meminumnya.
“Baru aja kita ngomongin kamu. Eh, nggak tahunya kamu lari terbirit-birit kayak dikejar setan. Emang kenapa kamu lari? Ada apa?”tanya Idhoh mengorek informasi dari Vivi.
Vivi yang masih ngos-ngosan membiarkan pertanyaan Idhoh disambar Dewi.
“Ah, kamu Dhoh. Orang dia masih ngos-ngosan kayak gitu masih aja kamu buru dengan pertanyaan interogasi. Nafsu banget,”sahut Dewi sewot.
Ketika Vivi sudah tenang akhirnya dia menceritakan kejadian sebenarnya.
“Iya iya. Aku certain. Begini. Tadi pas berangkat sekolah aku kan nebeng sama Soya. Tepat di alun-alun kota tiba-tiba Soya berhenti. Aku nggak tahu apa yang mau dia lakuin di tempat itu. Aku ditinggalin gitu aja di deket mobilnya. Ternyata dia ketemuan sama seseorang. Seseorang itu berjenis kelamin cowok. Dia pakai cipika cipiki ke cowok itu. Aku coba lihat lebih dekat lagi. Nggak tahunya dia beli soal dari joki. Dan kayaknya aku nggak asing sama joki itu. Kalau nggak salah dia pacar Soya yang baru dikeluarin awal semester kemarin. Habis itu mereka ngobrol berdua. Terus di belakang alun-alun kan ada rumahnya Miss Aza. Saat itu Miss Aza tahu aku dan menghampiri aku yang lagi sembunyi. Miss Aza juga lihat apa yang aku saksikan. Karena Miss Aza juga mau berangkat ke sekolah akhirnya aku diajak bareng sama beliau. Aku belum bilang sama Soya soal ini. Aku takut kalau dia tahu aku lagi ngintipin dia sama cowoknya yang seorang joki itu. Terus saking takutnya ketika sampai di depan gerbang aku cuma bilang makasih ke Miss Aza. Habis itu aku lari sampai ketemu kalian. Begitu ceritanya.”
“Wah, gila Soya. Berani banget tuh anak. Masih SMA aja udah kayak gitu. Jangan-jangan dia udah nikah lagi sama pacarnya.”
“Mulai ngelantur ni anak. Nggak penting banget sih kamu ngomong kayak gitu.”
“Yah, Vivi. Kenapa kamu malah pergi? Kenapa nggak nunggu sampai Soya balik? Pasti kamu bisa dapat bocoran soal dari dia. Giliran ada kesempatan emas nggak kamu ambil malah jadi sia-sia aja. Vivi, Vivi.”
“Iya ya. Benar kata Dewi. Itung-itung kita dapat bonusan gitu.”
“Lho kok malah disetujui ini bagaimana, to?”
Vivi terdiam setelah mendengar ucapanku dan Idhoh. Dia tak berani angkat bicara. Wajahnya masih ketakutan. Dia memang tidak menyukai hal seperti ini. Baginya kemampuan diri sendiri adalah segalanya. Sudah cukup menjadi keyakinan. Tak pernah tengok sana tengok sini saat ujian. Apalagi menggoyang-goyangkan bangku teman di depannya. Dia hanya mau dimintai jawaban tapi tidak mau menyalin jawaban orang lain.
“Eh guys, gimana kalau nanti aku tanya Soya dan kita kerjasama dalam hal ini? Gimana?”
“Masya Allah, kok malah ngajakin kerjasama ini bagaimana, to? Soya itu sudah ketahuan sama Bu Aza. Nanti kalau akhirnya kita yang kena bagaimana? Aku ndak ikut-ikutan wes.”
“Cemen kamu, Yus. Ini cara paling tepat buat kita lulus dengan hasil yang memuaskan. Kamu tahu kan otak kita itu pas-pasan. Kalau kita nggak ambil kesempatan ini, pintu kelulusan nggak akan berpihak sama kita. Kamu mau kita nggak lulus?”
Yuslisul mangut-manggut. Dipertimbangkannya pernyataan Idhoh.
“Tapi Dhoh, aku masih bisa kok bantu kalian. Kalian bisa tanya aku nanti,”celetuk Vivi tiba-tiba.
“Ha? Apa aku nggak salah dengar, Vi?”
“Iya, aku setuju aja sama Vivi.”
“Oke, otak kamu memang encer. Tapi gimana kalau tiba-tiba di tengah jalan ada sesuatu yang terjadi sampai kamu nggak bisa nglanjutin ngerjain soalnya? Jangan terlalu maksa otak kamu buat kerja keras. Kamu itu baru sembuh dari sakit. Seenggaknya dengan joki nantinya kamu nggak akan terlalu ngotot.”
“Aku yakin aku pasti bisa kok. Percaya deh sama aku,”kata Vivi terus meyakinkan teman-temannya.
“Oke gini aja. Kita ambil jalan tengahnya. Waktu ujian kan empat hari. Gimana kalau dua hari pertama kita pakai Vivi dan dua hari selanjutnya kita pakai joki. Itu pasti bisa diatur.”
“Aku setuju. Mending begitu saja wes. Daripada nanti akhirnya ndak lulus.”
“Plin plan banget sih ni anak. Tadi ada di pihak Vivi sekaranng di pihak aku. Gimana sih?”batinku.
“Oke juga. Aku setuju,”kata Idhoh sambil nyengir.
Mau nggak mau Vivi pun menyetujui hasil voting tersebut.
“Ya udah soal kerjasama ini biar aku yang urusin. Kalian tenang aja, OK?”
+ + +
Bel tanda masuk ruangan dibunyikan. Saatnya perlengkapan ujian di cek. Pengawas berkeliling mengecek kelengkapan siswa. Meskipun pengawas berasal dari sekolah lain, namun ini sudah merupakan adat sekolah kami setiap tahunnya. Jadi semua pengawas pun tahu bahwa mereka harus datang lebih awal dari hari sebelumnya. Bahkan lebih pagi dari pengawas sekolahku. Hal ini karena hanya sekolahku saja yang menerapkan sistem seperti ini.
Pengawas berkeliling dari satu peserta ujian ke peserta yang lain. Perlengkapan ujian yang di cek adalah pensil berlabel 2B orisinil. Di sekolahku masalah pensil memang sudah teratasi. Sebab tiga hari sebelum hari H sekolah memberikan fasilitas pensil, penghapus, dan rautan. Perlengkapan selanjutnya yaitu kartu peserta ujian. Kartu ujian nasional ini pun diberikan bersamaan dengan fasilitas lainnya. Tunggu. Kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak, ya? Ada perlengkapan yang tertinggal sepertinya. Oow, kartu ujianku tertinggal rupanya. Waduh, gimana nih? Aku mengacak-acak isi tas tapi tak kudapati di dalamnya.
“Mana kartu ujian kamu? Kenapa belum dikeluarkan?”
“Sepertinya ketinggalan, Bu.”
“Apa? Ketinggalan?”
Wajah seram menyiratkan kemarahan dari Ibu pengawas.
“Ayo cepat ambil! Tidak ada alasan lagi. Cepat ambil!”
“Siap, Bu.”
Yang kukhawatirkan akhirnya terjadi juga. Sial banget aku hari ini. Udah dikerjai anak-anak, kartu ujian ketinggalan pula. Huh, sial. Tapi nggak apa-apa. Habis kejadian apes pasti kerjasama dengan Soya nanti bakalan sukses. Ntar aku tinggal hubungi dia. Selesai deh urusannya.
“Malah bengong. Tunggu apalagi, ayo ambil!”
“I…iya, Bu.”
Aku beranjak menuju parkir sepeda dan bersegera pulang untuk mengambil kartu ujian. Tidak lebih dari lima belas menit aku sampai. Meletakkan sepeda di halaman dan masuk rumah tanpa mengucap salam. Takut ketahuan Mama. Tapi usahaku gagal. Ternyata Mama lagi di depan kamar dan aku kepergok.
“Ambil kartu ujian, Ma. Tadi udah aku cari di tas nggak ketemu. Hehe…,,”kataku sebelum Mama manyerangku dengan berbagai pertanyaan. “Kok nggak ketemu juga sih. Dimana kartuku?”
Tiba-tiba Mama datang menghampiri.
“Bukannya kemarin kamu bilang kartu ujianmu masih di bawa Soya? Kamu kan tidak masuk.”
“Toenk, iya juga ya. Fiuh, lupa lagi. Ampun deh. Ya udah Dewi berangkat lagi ya, Ma. Assalamualaikum.”
Mama cuma geleng-geleng kepala.
TOK TOK TOK
Kuketuk pintu ruang ujian Soya untuk meminta kartuku. Setelah itu aku memasuki ruanganku untuk segera ikut ujian dengan menyerahkan kartu ujian.
“Ini Bu kartu saya,”kataku sambil menunjukkan kartu ujianku.
“Ya sudah duduk sana. Lain kali jangan sampai tertinggal lagi. Anak-anak kartu ujian ini ibarat tiket yang harus dibawa ketika memasuki ruang ujian. Mengerti?”
Semua siswa di kelasku mengiyakan pernyataan Ibu pengawas.
Ujian hari ini bisa diatasi. Meskipun mata pelajarannya Bahasa Indonesia yang memakan banyak waktu untuk mengerjakan tapi aku punya strategi dalam menyiasatinya. Cukup dengan membaca setiap pertanyaannya baru aku cari dalam bacaan. Bukannya aku meremehkan tapi agar tak perlu banyak waktu yang dihabiskan untuk membaca.
Pernah ketika try out diknas kemarin gara-gara aku memaksa untuk mau membaca akibatnya waktu seratus dua puluh menit untuk mengerjakan tidak cukup untukku. Itu salah satu faktornya. Faktor yang lain adalah karena membaca adalah musuh terbesarku. Aku tak pernah suka dengan kegiatan membaca. Bagiku, memelototi beribu-ribu rangkaian huruf tanpa ada gambar bergerak dan efek musik sebagai pendukung adalah hal yang membosankan. Sangat membosankan.
Untung saja tiga tahun terakhir ini salah satu mahasiswa dari ITS mengenalkan solusi mengatasi musuh besar dalam tanda kurung membaca. Mahasiswa tersebut menggabungkan teknologi informasi berbasis listening yang dipadu dengan musik segar serta sinar yang dapat memancar seperti layar televisi namun berasal dari khayalan manusia sendiri ketika mendengarkan cerita tersebut. Hampir sama seperti kita menonton televisi namun dengan imajinasi kita sendiri. Ajaib. Sungguh tak pernah terbayangkan alat semacam itu bisa juga dibuat oleh otak Indonesia.
“Soya, bisa ngobrol bentar nggak? Penting ni,”tanyaku menghentikan langkah Soya ketika akan beranjak pulang.
“Soal apa?”
Aku membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Oke, dimana?”
“Mm… ke taman dekat Lab. Bahasa aja yuk!”
Soya menyetujui.
“Jadi gini, aku butuh bantuan kamu soal joki. Kamu punya kenalan kan dalam hal ini? Soalnya aku mau pakai jasa joki di dua mata pelajaran terakhir.”
Soya menjawab pertanyaanku dan menjelaskannya secara rinci.
“Trus teknis kerjanya kayak gimana?”
“Bentar, bentar. Tumben elo mau pakai jasa beginian. Bukannya temen elo si Vivi itu anti banget sama jasa kayak gini?”
“Ya itu kan Vivi. Vivi ya Vivi. Dia bukan aku juga bukan kamu kan? Jadi apa hubungannya dengan kerjasama ini? Ada yang salah?”
Sialan. Dia malah balik mojokin gue,”batin Soya. “Elo mau gue jelasin nggak teknisnya kayak gimana?”
“Ya iyalah masak ya iya dong. Jangan sewot gitu, Bro. Come on, girl.
“Gini aja deh. Ntar malem elo ke rumah gue. Gua bakalan kasih lebih jelasnya nanti. Sekalian tanda tangan surat perjanjian kerjasama plus gue kenalin sama joki kita, gimana?”
“Sip, thanks ya Ya.”
Yes. Urusan dua hari selanjutnya beres. Sekarang waktunya pulang buat ngadem. Ntar malem next ke aksi selanjutnya.
+ + +
“Sebelum masuk ke teknis kerjanya, elo kudu nyiapin perlengkapannya. Gue punya beberapa pilihan tentang perlengkapan itu sendiri. Pertama perlengkapan itu menyerupai penyadap yang disusun sedemikian rapi dan bisa digabungkan dengan bros atau pin sebagai tempatnya. Penyadap ini sudah diatur agar dapat berhubungan dengan joki. Nggak ada yang bakal tahu kalau pin atau bros tersebut sebenarnya adalah penyadap. Dalam hal ini joki pun sudah terjamin kualitasnya jadi elo nggak usah khawatir bakalan lulus atau nggak.”
“Pilihan seloanjutnya yakni mini glasses. Benda ini sejenis kacamata yang digunakan untuk memfokuskan target dalam keadaan yang jauh. Disebut mini karena di dalam sebuah kacamata yang kecil terdapat fungsi yang sangat menakjubkan. Cara kerjanya nggak sama kayak penyadap. Kalau pakai yang ini elo nggak butuh pakai joki lagi. Cukup dengan mencari target. Fokuskan pandangan. Setelah itu tara. Jawaban elo udah penuh.”
“Nah, cara ini nggak usah susah-susah buat tengok sana tengok sini. Apalagi tanya sana tanya sini. Elo tinggal pakai mini glasses ini semuanya bakal lancar. Dengan tombol yang sudah diatur dipadu dengan kecanggihan perangkat di dalamnya mini glasses ini bisa memfokuskan jarak pandang ke target yang dituju dengan jelas. Elo bebas mau pilih yang mana.”
“Aku pilih yang mini glasses aja deh. Lebih simple.”
“Oke, soal biaya bisa diatur. Lagian hari ini jokinya nggak bisa datang. Jadi nggak apa-apa kan kalau dia nggak datang.”
“Iya, ya udah berarti besok Rabu kamu bawain langsung kan barangnya?”
“Siap. Kita ketemuan lagi di gudang belakang sekolah jam enam pagi.”
“Setuju.”
Soya menyerahkan selembar surat perjanjian kerjasama beserta peraturan-peraturan dan mengulurkan tangan sebagai bukti kesepakatan.
            “Ini  uang muka dari aku. Sisanya setelah barang sampai.”
+ + +
            Soya menjelaskan cara kerja dari mini glasses ini dari tombol satu ke tombol lain. Benar-benar tidak nampak bahwa kacamata ini memiliki tombol dan perangkat pendukung di dalamnya. Canggih.
            “Thanks, Soya. Ini sisa pembayaran DP kemarin.”
            Soya menyerahkan barang yang aku pesan. Hari ini sengaja aku meneteskan obat mata ke mata agar tampak seperti sedang sakit mata. Setelah itu aku beralasan karena sakit mata aku pakai kacamata yang sebenarnya dari Soya. Ok, permainan di mulai.
            “Wih, keren juga kamu pakai kacamata kayak gitu.”
            “Iya yo. Bagus. Pantas sekali lho Dew.”        
            “Keren? Aku lagi sakit mata ni. Mataku merah kena iritasi. Sakit banger tahu.”
            “Walah di kasih sakit kok marah-marah. Mbok yo sabar saja.”
“Sabar, sabar. Emang sakit itu enak apa? Makan nggak enak apalagi lihat sesuatu. Perih, sakit banget.”
Kemudian aku membisikkan sesuatu ke telinga Yuslisul perihal kerjasama kemarin.
“Ha? Kamu sudah ketemu sama Soya memangnya?”
Aku mengangguk. Aku memberi isyarat ke arah Idhoh. Dan dia memahami isyaratku.
“Ya sudah, nanti kalau ndak bisa isyaratin aku saja. Aku siap transfer jawaban.”
“Makasih deh sebelumnya.”
Setelah kelengkapan ujian selesai diperiksa ternyata sisa waktu yang tersedia masih lima menit. Aku mencoba fasilitas yang diunggulkan dari kacamata ini. Wih, emang keren banget. Semua anak seisi kelas ini terlihat dengan sangat jelas. Nggak rugi jika aku berani merogoh kocek yang tidak sedikit demi kacamata secanggih ini.
Untuk menghapus kecurigaan yang kemungkinan muncul di benak teman-teman yang lainnya akhirnya aku melakukan saran dari Yuslisul. Ketika pengawas lengah, aku melipat kertas sekecil mungkin. Kemudian aku lemparkan ke arah Yuslisul. Diterimanya dengan sigap. Beberapa menit kemudian setelah kondisi aman, Yuslisul memberi balasan dari lemparan kertasku.
Setengah jam terakhir aku mulai manjalankan aksiku. Target sudah ada di tangan. Tinggal melayangkan aksi saja. Oke, sekarang saatnya memfokuskan pandangan ke target. Yes, target kena. Jawaban siap di salin. Cukup membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit, jawaban penuh. Perfect.
Bel dibunyikan tanda ujian usai. Semua peserta diperkenankan keluar ujian. Bersamaan dengan itu kutepuk pundak Yuslisul. Dia berbalik memandang ke arahku.
“Terimakasih, Yus.”
“Sama-sama kawan.”
+ + +
“Wah nggak terasa kita udah diujung ujian ya. Syukur banget, lega rasanya.”
“Iya ni, Vi. Wah seneng banget kamu. Pasti udah capek ya belajar terus?”tanya Idhoh.
“Ya nggak sih. Habis ini kan masih ada test masuk PTN kan?”
“Oh iya. Wah, salut deh aku sama kamu.”
“Apaan sih. Biasa aja kok, Ja.”
“Eh iya Dew, gimana ceritanya kamu dapat mini glasses itu.”
“Iya, jadi gini. Soya kasih pilihan. Penyadap sama kacamata ini. Kalau pakai penyadap sebenarnya lebih mudah karena udah ada joki yang ngebantu kita dan dijamin kelulusannya. Tapi kalau pake kacamata ini lebih canggih lagi. Kita tinggal pakai terus fokuskan ke target. Siap salin jawaban deh.”
“Wih, canggih juga ya. Boleh ndak aku cobain.”
Aku menyerahkan mini glasses ke Yuslisul. Terlihat mataku masih memerah.
“Kirain beneran sakit mata. Habisnya acting kamu bagus banget. Calon aktris ni ye?”goda Idhoh.
“Apaan sih. Aku aja cuek kok.”
+ + +
Kelulusan sudah diumumkan dan kembali sekolah kami meraih nun tertinggi terbaik di tingkat Jawa Timur. Dua anak di jurusan ips dan tiga anak di jurusan ipa. Tapi, kabar siapa peraih nun tertinggi tersebut belum diumumkan. Biasanya diumumkan saat perpisahan umum bersama adik kelas yang dihadiri pula orang tua atau wali murid.
Hari ini perpisahan umum digelar. Tepat pukul setengah delapan acara dimulai. Dengan kostum bertema Modernisasi VS Tradisional, kelasku dapat jatah memakai kostum modern. Tanpa pikir panjang seperti biasa aku memakai celana jeans dipadu dengan kaos oblong serta rompi di bagian luarnya. Memakai sepatu vantofel yang berukuran sedang. Tak ketinggalan pula alunan musik dari headset yang tak pernah kutanggalkan. Acara demi acara dilangsungkan penuh rasa bahagia melepas kelulusan siswa siswi angkatanku. Ketika sedang asyiknya aku menikmati acara, Miss Aza memanggilku. Aku segera menghadap beliau. Di mushola beliau menungguku.
“Ada apa Miss memanggil saya?”
Miss Aza mengulurkan tangannya. Kusambut pula uluran tangannya kemudian beliau berkata.
“Congratulation for your achievement. Kamu masuk dalam kategori tiga anak peraih nun tertinggi se-Jawa Timur.”
“Benarkah itu, Miss?”
Raut kegiranganku muncul dengan perasaan berdebar. Namun, kegiranganku terpotong oleh pertanyaan serius dari beliau.
“Apa yang dapat kamu janjikan terhadap diri kamu sendiri?”
“Apa maksud Miss?”
“Kamu lebih tahu daripada Miss, Nak.”
“Maksud Miss? Saya tidak mengerti.”
“Mini glasses kamu memang hebat. Tapi Miss yakin kamu lebih hebat dari benda buatan manusia itu.”
“Bagaimana Miss bisa tahu.”
Miss Aza hanya tersenyum lembut.
“Hubungi Ibu jika kamu sudah diterima di perguruan tinggi negeri dan siap berlayar ke luar negeri. Dan ketika ambil S1, kamu harus selesai dalam waktu tiga tahun setengah. Sukses ya, Nak,”pesan Miss Aza sembari meninggalkanku yang sedang bengong.
Gila. Kok jadi gini sih masalahnya. Harus lulus S1 dalam waktu tiga tahun setengah dan harus ke luar negeri? Tantangan macam apa ini. Oh Tuhan, kenapa jadi seperti ini?
JOKI MASA KINI
Cerpen
Cerpen bertema Pendidikan ini disusun untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia kelas XII semester II
Disusun oleh siswa XII IPA 2 :
1.     Azharia Roja                              [05]
2.     Dewi Yulaikah                          [07]
3.     Idhoh Lailatul M                       [17]
4.     Yuslisul Pransiskasari             [24]
5.     Nafisatun Nihayah                   [29]
Pembimbing :
Nuryatin, S.Pd
MADRASAH ALIYAH NEGERI KOTA KEDIRI 3
Jalan Letjen Suprapto No: 58 Telp (0354)687876 Kediri
Tahun Ajaran 2010/2011
Selengkapnya...

Selasa, 15 Februari 2011

Rungokno ilmu, masio soko wong sudra pepeki
Aku kadang tidak enak ketika mau membuat sebuah tulisan yang ditujukan kepada orang Indonesia itu. Bukannya kenapa, tapi orang Indonesia itu kebanyakan sudah ppintar atau tepatnya merasa sudah pada pintar semua. Jadi ketika saya membuat sebuah tulisan yang mungkin temanya sama, jarang sekali yangbmau membacanya. Saya seolah menggurui seorang ilmuan, hehehe…. Orang jawa bilang: Nguyahi segoro. Samudra kok sigarami, ya nggak ada manfaatnya, kira-kira begitu.
Tapi apakah itu sebenarnya yang benar menurut agama kita? Bukankah dalam agama kita disuruh untuk tetap mendengarkan segala ilmu walaupun itu telah didengar seribu kali? Sesungguhnya itulah yang sebaiknya kita lakukan. Orang yanbg berilmu bukanlah mereka yang sudah bosan dengan ilmu itu setelah didengarnya satu kali, tapi orang yang berilmu adalah mereka tang tetap antusias walaupun ilmu itu telah didengarnya seribu kali. Bedgitulah menurut kitab Ta’limul muta’alikm.
Sejurus dari kenyataan itu, kadang  orang kurang tertarik dengan ilmu yang dibicarakan oleh orang yang derajtnya di bawahnya. Hal ini sebenarnya ironi. Bagaikmana tidak? Ilmu yang begitu bermanfaat jadi tak tersampaikan kepadanya. Seolah dia dikasih makanan lezat tapi dia menulaknya mentah-mentah. Bagaimana seharusnya? Jika kita mau sedikit mengesampingkan ego, kita akan mendapatkan makanan lezat itu.
Sudahlah, tak usah peduli siapa itu. Selana nasehat itu bagus, kenapa tidak? Walaupun toh itu berasal dari kaum sudra sekalipin. Orang arab dalam syairnya mengatakan:
Lihatlah apa yang dikatakan. Jangan melihat siapa yang mengatakan
Nah, kini masihkan rasa angkuh menghalangimu dari tersampainya sebuah alat pengangkat derajat manusia(ilmu) itu? Sebuah mutiara telah ada di depanmu dan diberikan kepadamu tapi kamu tak mau mengambilnya, sebuah roket berkecepatan cahaya dipersilahkan untuk kau kendarai tapi kau menolaknya, kunci istana diserahkan cuma-cuma kepadamu dan kamu menolaknya hanya karena yang memberinya seorang budak yang atheis. Ah sungguh malang nian nasip si angkuh…..
Makasih telah mau membaca……
Selengkapnya...

Senin, 06 Desember 2010

Terakhir

menangislah...
semoga basah air mata
sederas hujan tadi malam
ketika kita membasuh luka dengan terbata
di bawah gigil dedaunanlarutkan saja..
larutkan kesedihan kita
dukamu akan luka ku
aku hendak berkemas
Selengkapnya...

Menunggu Benderang dan Gelap


sebentar saja mengingatmu
secepat itu cepat landas hilang
sebentar saja melupakanmu
sekilat itu tak di duga datang
apa mau hati tentang gejolak

Tanpa mukadimah cinta menendangku angkuh
makin berlari, makin tersungkur pula
di lubang terjebak hitam mulai memerah
tampak buram adanya cahaya hilang
langit menopang agar aku tidak jingga

sang perempuan menawar enggan
menghibur udara sedih sekeliling
kosakata tak biasa ku dengar lugas
bahwa dia memantik tidak dengan harapan
dengan cara lain dia hidup pada hidupku

pada satu sachet kopi tak murni
aku mulai menjumpainya dengan sapa
berbeda dari yang biasa, memang
itu awal aku menegur dengan canda
manis sekali ketika itu…
seperti kopi baru ku seduh

dengan buku aku memberi harga
menyampaikan pesan yang benar-benar
apa yang terjadi dengan indera
sinar yang mengemplang hati
bagai morse mulai berisyarat

entah mengerti atau tidak satupun
pesan singkat memanggil paksa
bicara akan isi buku yang dalam
sekedar itu saja tanpa bahasan lain
atau …….

waktu berlari menjadi khusus
berlanjut hilang ketika satu hilang
suara kadang ada atau tidak menjawab
sangat perih untuk masing-masing
merasa hilang lalu menjadi gelisah

Romansa ber-entah terjalin abu-abu
memangkas sedikit waktu ku
hati yang bergejolak gaduh
memanggilnya paksa tanpa perintah

dalam hati yang gaduh
dengan cara lain dia hidup dalam hidupku
seperti kopi yang baru ku seduh
sangat manis sekali ketika itu
awal aku menegurnya dengan canda
pada satu sachet kopi tak murni

dalam hati yang gaduh
aku menunggu sinar….
benderang……
dan gemerlap…
Selengkapnya...

Keikhlasan


Keikhlasan sifatnya non material
Rela hati menelusuri kehidupan
Dengan tetesan keringat dan air mata
Dengan pengorbanan sebuah eksistensi diri
Hanya untuk mengubah paradigma semesta

Keikhlasan bagian dari spiritualitas
Sedang spiritualitas tak terukur oleh material
Wajah yang manis menjadi legam
Terkena panasnya terik sang surya
Hanya untuk mengharmonisasikan semesta.

Adakah keikhlasan tersimbolkan
Sedangkan simbol adalah representase makna
Bukankah simbol tuntutan syariat
Dalam upaya menapaki jalan spiritual
Ataukah keikhlasan tersimbolkan dalam bentuk garis
Tersimbolkan melalui tetesan keringat peluh tanpa bahasa

Keikhlasan adalah bagian dari spiritualitas
Menemukan spiritualitas melalui keikhlasan memberi
Dan tersingkapnya tabir
Jadikanlah diri milik semesta
Semesta merindukan sentuhan dan belaian tangan kita.
Selengkapnya...

Aku, Masa Lalumu....

aku adalah wajah gelap masa lalumu
yang takkan lepasakanmu begitu saja
meski harusku manahan
siksa perasaanku sendiri...

aku sperti batu yang tak pernah bisa mengerti
betapa engkau kini tlah bosan
hadapi aku yag tak pernah bisa pahami
arti perasaaanmu....
aku dan kisah kelabuku denganmu
biarlah hanya aku yang tahu & mengerti
karena aku yang pernah menyakiti......
Aku, masa lalumu...........
Selengkapnya...

IKRAR

Mega bertebaran di langit jingga sore itu.
Senandung kata bernada terbawa angin
Yang menari di sela reranting.
Bersuara merdu bak perindu merindu.

Wajah manis duduk di altar ketermanguan.
Menikmati penantian dalam kesendirian.
Mencari asa yang masih tertinggal di antara realitas.
Mungkinkah harap itu menjadi nyata.
Wujudkan impian dalam khayal.

Bilakah dermaga hidup terlabuhi.
Menukar sunyi dalam kegaduhan.
Menghadirkan keriangan dalam keramaian.
Menjadikan senandung cinta dari pencinta
Lebih bermakna...

Tarian waktu yang tak terhenti.
Berkuasa membawa diri pada masa dan ruang kepastian.
Musim semi itu akhirnya terjemput.
Pijar-pijar bahagia bergelayut di taman sang pencinta.
Menyesakan dada hingga tak mampu berkata

Ikrar suci yang terlantun.
Menjadi saksi cinta abadi
Selengkapnya...

ENTAH...

Entah...
Dalam dekapan rasa
Untuk berapa kali aku duduk di sini.
Entah...
Dalam dekapan rindu.
Berapa kali lagi aku akan di sini.
Saat ini...
Dengan segala asa.
Masih duduk di dermaga tua ini.
Entah...sampai kapan aku di sini
Mungkin...ya...mungkin.
Sampai tidak ada lagi dermaga
Di kota ini.
Entahlah... Selengkapnya...

RINDU KAWAN


Kawan...janganlah katakan
Bahwa aku melarikan diri dari perjuangan
Sesungguhnya aku baru memulainya

Di kejauhan aku merasa tersiksa
Suka-duka yang aku lewati sendirian
Tak akan bisa tergantikan
Dan tak seindah selain bersama kalian

Aku rindu tuk menyelimuti para kader Tanah Air
Dikala malam saat mereka terlelap
Rindu kemarahan dan air mata para kader ikhwan
Karena aku selalu dituduh mencipta masalah.

Kepergianku untuk menjauh dari kalian
Bukan karena aku membawa masalah
Sungguh...apa yang ku lakukan demi kebahagiaan keluarga
Meskipun mempengaruhi sebuah eksistensi.

Kawan...
Semua harus ikhlas dan sabar
Dan dengan niatan tulus dan suci tanpa tendensi
Seandainya..kalian menghadapi suatu masalah
Anggaplah itu adalah bunga romantisme
Ritmes dari suatu perjuangan

Janganlah tak ada sapa
Janganlah tak ada senyum
Janganlah ada kata melarikan diri dari sekret
Dan...
Janganlah ada kata pengunduran diri
Meskipun telah terjadi konfrensi luar biasa.
Selengkapnya...

Bagaimana Kau akan tahu

Bagaimana kau akan tahu
Segala perasaan yang membebaniku
Sedang jarak memisahkan aku denganmu

Bagaimana kau akan tahu
Bahwa aku disini begitu mengingatmu
Sedang kita tak pernah berkata.

Bagaimana kau akan tahu
Hatiku tak mampu berpaling
Sedang dirimu selalu merasa ragu

Bagaimana....
Selengkapnya...