Tak seperti biasanya. Kegemaran
bermalas-malasan yang sudah menjadi kebiasaan selama kurang lebih tujuh belas
tahun ternyata dapat kutangguhkan hari ini. Terang saja ada raut keheranan di
wajah Mama saat aku keluar dari kamar dan langsung menyabet handuk di rak depan
kamar mandi. Ya, sengaja aku bangun lebih pagi karena hari ini dilaksanakan
ujian nasional. Serangkaian persiapan telah aku lakukan.
Setelah semua persiapan selesai aku menuju meja makan. Dengan tergesa-gesa aku
lahap makanan yang disiapkan Mama sejak subuh tadi kemudian mencium tangannya
yang halus dan mengucapkan salam. Kukayuh
sepeda diiringi alunan musik pop rock yang mengalun dari headset yang tak pernah lepas dari telingaku. Hari ini jalanan masih
sangat sepi berbeda dari hari-hari biasanya. Hembusan angin yang kencang
menemani keberangkatanku dengan semangat untuk mencapai tujuan.
Akhirnya aku tiba di sekolah tepat
pukul enam pagi. Kukira gerbangnya belum dibuka ternyata dugaanku salah. Bukan
hanya aku saja yang datang sepagi ini. Bukan tanpa alasan aku berangkat sepagi
ini melainkan karena adat sekolahku yang mendentangkan bel tanda masuk ruangan setengah
jam sebelum ujian nasional dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
kejadian yang tidak diinginkan seperti ada kelengkapan ujian nasional yang
tertinggal dan keterlambatan siswa yang mempengaruhi mental dalam pengerjaan
soal ujian. Sekolahku memang tidak main-main dalam pelaksanaan ujian nasional.
Maka dari itu, meskipun aku adalah anak yang super malas berangkat sepagi ini
akhirnya kulakoni juga. Lagi pula ini sudah kesepakatan genk. Jasa Mang Asep
pun ku abaikan dan aku memilih pergi bersama sepedaku.
Meskipun jalanan masih sepi namun tak
bisa dipungkiri bahwa asap kendaraan sudah tercium dan mengepul dimana-mana.
Semua hal sudah dibuat otomatis dengan menggabungkan teknologi modern dan
kendaraan hingga sepeda yang biasanya memakai jasa manusia kini sudah tidak
usah takut untuk lelah akibat mengayuh. Dengan sedemikian rupa sepeda
dimodifikasi hingga dapat menjadi sepeda otomatis pula. Cukup dengan mencharger
bagian yang disebut seperti baterai sepeda sudah bisa berjalan kurang lebih 10 km/jam
dengan kecepatan mencapai 60 km/jam. Namun, ada solusi untuk pengawetan baterai
tersebut yakni dengan mengayuh sepeda tersebut. Sama seperti sepeda yang aku
pakai saat ini. Otomatis dan modern.
Aku menuju ke parkir sepeda dan meletakkan
sepeda di tempat yang strategis sembari melepas headset yang kupakai dari
rumah. Tak kusangka, ini benar-benar
sangat pagi. Buktinya di sepanjang koridor sekolah belum ada siswa yang
terlihat berseliweran. Pak Dorman tukang kebun di sekolah sudah siap untuk
melaksanakan tugasnya dengan berbagai perlengkapan.
“Kalau akhirnya seperti ini males
banget aku berangkat sepagi ini. Anak-anak aja belum pada datang. Mau ngapain
aku? Huh…”keluhku sambil memasang kembali headset
yang telah kulepas saat di parkiran tadi.
Setelah menunggu beberapa menit
akhirnya virus bosan mulai menyerangku.
“Bosan banget sih hari ini. Udah
dibela-belain berangkat pagi. Eh nggak tahunya belum pada datang. Masih sepi
gini, terus ngapain enaknya? Ke ruang tunggu aja kali ya nonton. Mungkin ada
channel yang bagus. Tapi ntar kalau kepergok guru bisa mampus aku. Masak mau
ujian bukannya belajar malah nonton tv nggak jelas. Duh, gimana nih? Males
banget kalau harus belajar. Sialan banget anak-anak. Tega-teganya ngerjain
aku,”kataku sambil ngedumel nggak jelas.
“Duar…”teriak beberapa orang
tiba-tiba yang datang dari belakangku dan mengagetkanku hingga membuyarkan
semua unek-unek.
“Gila banget, kalian apa-apaan sih?
Nggak tahu apa kalau ada orang lagi bingung disini. Untung aja aku nggak punya
penyakit jantung.”
“Sengaja,”sahut keduanya.
“Tega banget sih sama temen
sendiri,”kataku melas.
“Dewi, Dewi. Emang dasar Dewi ya.
Kalau udah Dewi mau diapain lagi. Susah banget bangunin kamu.”
“Maksud kamu apa sih?”
“Sudah to, niat kita baik kok ngerjain kamu. Kita cuma nggak pengen lihat
kamu telat hari ini. Ini kan hari pertama kita ujian. Maksud Idhoh ngebangunin itu
biar kamu sadar kalau kita itu udah mau lulus. Jadi tinggal dikit lagi habis
itu go out dari sekolah ini dan kamu
nggak bakalan dapat predikat siswa telatan,OK?”
“Ya kalau gitu nggak harus kayak gini
dong caranya. Aku udah bela-belain bangun pagi. Eh nggak tahunya sepi banget di
sekolah. Udah gitu tiba-tiba kalian datang sambil ngendap-ngendap dan ngagetin
aku. Gimana nggak shock coba? Emang
sial banget aku hari ini. Awas aja kalau nanti pas ujian sial lagi.”
“Sudah, Dew. Ndak baik ngomong seperti itu. Kalau nanti sial lagi yowes terima saja. Udah takdir kamu
begitu kok,”celetuk Yuslisul tiba-tiba rada encer.
“Dengerin tuh! Tumben otak kamu rada
encer, Yus?”sindir Idhoh.
“Baru tahu saja kamu, Dhoh. Mosok selamanya aku mau jadi lola alias
loading lama. Ya ndak mau aku. Kita
hidup di zaman yang sudah serba otomatis kawan. Jadi ya jangan jadi bloon.”
Dewi dan Idhoh cekikikan.
“Eh tumben banget jam segini Vivi
belum datang. Kemana dia?”
“Iya ya, kok sudah jam segini dia
belum datang. Wah jangan-jangan dia bangun kesiangan. Pasti belajarnya sampai
larut malam.”
“Emang kebiasaan tuh si Vivi. Sukanya
belajar melulu sampai makin tebal aja kacamatanya. Apa dia nggak capek, ya?”
“Bodo banget, ngapain ngurusin dia.
Kalau aku ya cuek aja. Nikmatin hari aja guys.”
Emang udah jadi tabiat Vivi. Selalu
rajin belajar tanpa menyisakan waktu buat main. Apalagi menjelang ujian
nasional. Nyaris nggak ada kegiatan selain belajar. Dia memang smart tapi
pelitnya minta ampun. Tiba-tiba dari lobi terlihat wajah Vivi. Dia berlari
sembari membawa helm di tangan kirinya dan sebuah buku di tangan kanannya.
Datang di hadapanku dan teman-teman dengan nafas yang ngos-ngosan.
“Aduh… aku capek…,”katanya sambil
membetulkan letak kacamatanya.”
“Tenang, Vi! Tenang dulu! Duduk!”
“Walah, ada apa to ini? Kok baru datang sudah keringetan begitu. Dikejar satpam to?”tanya Yuslisul dengan culunnya.
“Eh Yus, beliin minum sono!”perintah
Dewi rada panik.
“Ndak
usah beli. Aku bawa kok. Ini minumnya,”kata Yuslisul sambil memberikan
botol minuman ke Dewi.
“Minum dulu, Vi! Biar kamu tenang,”kata
Idhoh menenangkan.
Vivi mengambil botol minuman Yuslisul
dari tangan Dewi dan meminumnya.
“Baru aja kita ngomongin kamu. Eh,
nggak tahunya kamu lari terbirit-birit kayak dikejar setan. Emang kenapa kamu
lari? Ada apa?”tanya Idhoh mengorek informasi dari Vivi.
Vivi yang masih ngos-ngosan
membiarkan pertanyaan Idhoh disambar Dewi.
“Ah, kamu Dhoh. Orang dia masih
ngos-ngosan kayak gitu masih aja kamu buru dengan pertanyaan interogasi. Nafsu
banget,”sahut Dewi sewot.
Ketika Vivi sudah tenang akhirnya dia
menceritakan kejadian sebenarnya.
“Iya iya. Aku certain. Begini. Tadi
pas berangkat sekolah aku kan nebeng sama Soya. Tepat di alun-alun kota
tiba-tiba Soya berhenti. Aku nggak tahu apa yang mau dia lakuin di tempat itu.
Aku ditinggalin gitu aja di deket mobilnya. Ternyata dia ketemuan sama
seseorang. Seseorang itu berjenis kelamin cowok. Dia pakai cipika cipiki ke
cowok itu. Aku coba lihat lebih dekat lagi. Nggak tahunya dia beli soal dari
joki. Dan kayaknya aku nggak asing sama joki itu. Kalau nggak salah dia pacar
Soya yang baru dikeluarin awal semester kemarin. Habis itu mereka ngobrol
berdua. Terus di belakang alun-alun kan ada rumahnya Miss Aza. Saat itu Miss
Aza tahu aku dan menghampiri aku yang lagi sembunyi. Miss Aza juga lihat apa
yang aku saksikan. Karena Miss Aza juga mau berangkat ke sekolah akhirnya aku
diajak bareng sama beliau. Aku belum bilang sama Soya soal ini. Aku takut kalau
dia tahu aku lagi ngintipin dia sama cowoknya yang seorang joki itu. Terus
saking takutnya ketika sampai di depan gerbang aku cuma bilang makasih ke Miss
Aza. Habis itu aku lari sampai ketemu kalian. Begitu ceritanya.”
“Wah, gila Soya. Berani banget tuh
anak. Masih SMA aja udah kayak gitu. Jangan-jangan dia udah nikah lagi sama
pacarnya.”
“Mulai ngelantur ni anak. Nggak
penting banget sih kamu ngomong kayak gitu.”
“Yah, Vivi. Kenapa kamu malah pergi?
Kenapa nggak nunggu sampai Soya balik? Pasti kamu bisa dapat bocoran soal dari
dia. Giliran ada kesempatan emas nggak kamu ambil malah jadi sia-sia aja. Vivi,
Vivi.”
“Iya ya. Benar kata Dewi. Itung-itung
kita dapat bonusan gitu.”
“Lho kok malah disetujui ini
bagaimana, to?”
Vivi terdiam setelah mendengar
ucapanku dan Idhoh. Dia tak berani angkat bicara. Wajahnya masih ketakutan. Dia
memang tidak menyukai hal seperti ini. Baginya kemampuan diri sendiri adalah
segalanya. Sudah cukup menjadi keyakinan. Tak pernah tengok sana tengok sini
saat ujian. Apalagi menggoyang-goyangkan bangku teman di depannya. Dia hanya
mau dimintai jawaban tapi tidak mau menyalin jawaban orang lain.
“Eh guys, gimana kalau nanti aku
tanya Soya dan kita kerjasama dalam hal ini? Gimana?”
“Masya Allah, kok malah ngajakin
kerjasama ini bagaimana, to? Soya itu
sudah ketahuan sama Bu Aza. Nanti kalau akhirnya kita yang kena bagaimana? Aku ndak ikut-ikutan wes.”
“Cemen kamu, Yus. Ini cara paling
tepat buat kita lulus dengan hasil yang memuaskan. Kamu tahu kan otak kita itu
pas-pasan. Kalau kita nggak ambil kesempatan ini, pintu kelulusan nggak akan
berpihak sama kita. Kamu mau kita nggak lulus?”
“Tapi Dhoh, aku masih bisa kok bantu
kalian. Kalian bisa tanya aku nanti,”celetuk Vivi tiba-tiba.
“Ha? Apa aku nggak salah dengar, Vi?”
“Iya, aku setuju aja sama Vivi.”
“Oke, otak kamu memang encer. Tapi
gimana kalau tiba-tiba di tengah jalan ada sesuatu yang terjadi sampai kamu
nggak bisa nglanjutin ngerjain soalnya? Jangan terlalu maksa otak kamu buat kerja
keras. Kamu itu baru sembuh dari sakit. Seenggaknya dengan joki nantinya kamu
nggak akan terlalu ngotot.”
“Aku yakin aku pasti bisa kok.
Percaya deh sama aku,”kata Vivi terus meyakinkan teman-temannya.
“Oke gini aja. Kita ambil jalan
tengahnya. Waktu ujian kan empat hari. Gimana kalau dua hari pertama kita pakai
Vivi dan dua hari selanjutnya kita pakai joki. Itu pasti bisa diatur.”
“Aku setuju. Mending begitu saja wes. Daripada nanti akhirnya ndak lulus.”
“Plin plan banget sih ni anak. Tadi ada di pihak Vivi sekaranng di pihak
aku. Gimana sih?”batinku.
“Oke juga. Aku setuju,”kata Idhoh
sambil nyengir.
Mau nggak mau Vivi pun menyetujui
hasil voting tersebut.
“Ya udah soal kerjasama ini biar aku
yang urusin. Kalian tenang aja, OK?”
+++
Bel tanda masuk ruangan dibunyikan.
Saatnya perlengkapan ujian di cek. Pengawas berkeliling mengecek kelengkapan
siswa. Meskipun pengawas berasal dari sekolah lain, namun ini sudah merupakan
adat sekolah kami setiap tahunnya. Jadi semua pengawas pun tahu bahwa mereka
harus datang lebih awal dari hari sebelumnya. Bahkan lebih pagi dari pengawas
sekolahku. Hal ini karena hanya sekolahku saja yang menerapkan sistem seperti
ini.
Pengawas berkeliling dari satu
peserta ujian ke peserta yang lain. Perlengkapan ujian yang di cek adalah
pensil berlabel 2B orisinil. Di sekolahku masalah pensil memang sudah teratasi.
Sebab tiga hari sebelum hari H sekolah memberikan fasilitas pensil, penghapus,
dan rautan. Perlengkapan selanjutnya yaitu kartu peserta ujian. Kartu ujian
nasional ini pun diberikan bersamaan dengan fasilitas lainnya. Tunggu. Kenapa
tiba-tiba perasaanku tidak enak, ya? Ada perlengkapan yang tertinggal
sepertinya. Oow, kartu ujianku tertinggal rupanya. Waduh, gimana nih? Aku
mengacak-acak isi tas tapi tak kudapati di dalamnya.
“Mana kartu ujian kamu? Kenapa belum
dikeluarkan?”
“Sepertinya ketinggalan, Bu.”
“Apa? Ketinggalan?”
Wajah seram menyiratkan kemarahan
dari Ibu pengawas.
“Ayo cepat ambil! Tidak ada alasan
lagi. Cepat ambil!”
“Siap, Bu.”
Yang kukhawatirkan akhirnya terjadi
juga. Sial banget aku hari ini. Udah dikerjai anak-anak, kartu ujian
ketinggalan pula. Huh, sial. Tapi nggak apa-apa. Habis kejadian apes pasti kerjasama dengan Soya nanti
bakalan sukses. Ntar aku tinggal hubungi dia. Selesai deh urusannya.
“Malah bengong. Tunggu apalagi, ayo
ambil!”
“I…iya, Bu.”
Aku beranjak menuju parkir sepeda dan
bersegera pulang untuk mengambil kartu ujian. Tidak lebih dari lima belas menit
aku sampai. Meletakkan sepeda di halaman dan masuk rumah tanpa mengucap salam.
Takut ketahuan Mama. Tapi usahaku gagal. Ternyata Mama lagi di depan kamar dan
aku kepergok.
“Ambil kartu ujian, Ma. Tadi udah aku
cari di tas nggak ketemu. Hehe…,,”kataku sebelum Mama manyerangku dengan
berbagai pertanyaan. “Kok nggak ketemu juga sih. Dimana kartuku?”
Tiba-tiba Mama datang menghampiri.
“Bukannya kemarin kamu bilang kartu
ujianmu masih di bawa Soya? Kamu kan tidak masuk.”
“Toenk, iya juga ya. Fiuh, lupa lagi.
Ampun deh. Ya udah Dewi berangkat lagi ya, Ma. Assalamualaikum.”
Mama cuma geleng-geleng kepala.
TOK TOK TOK
Kuketuk pintu ruang ujian Soya untuk
meminta kartuku. Setelah itu aku memasuki ruanganku untuk segera ikut ujian
dengan menyerahkan kartu ujian.
“Ini Bu kartu saya,”kataku sambil
menunjukkan kartu ujianku.
“Ya sudah duduk sana. Lain kali
jangan sampai tertinggal lagi. Anak-anak kartu ujian ini ibarat tiket yang
harus dibawa ketika memasuki ruang ujian. Mengerti?”
Semua siswa di kelasku mengiyakan
pernyataan Ibu pengawas.
Ujian hari ini bisa diatasi. Meskipun
mata pelajarannya Bahasa Indonesia yang memakan banyak waktu untuk mengerjakan
tapi aku punya strategi dalam menyiasatinya. Cukup dengan membaca setiap
pertanyaannya baru aku cari dalam bacaan. Bukannya aku meremehkan tapi agar tak
perlu banyak waktu yang dihabiskan untuk membaca.
Pernah ketika try out diknas kemarin
gara-gara aku memaksa untuk mau membaca akibatnya waktu seratus dua puluh menit
untuk mengerjakan tidak cukup untukku. Itu salah satu faktornya. Faktor yang
lain adalah karena membaca adalah musuh terbesarku. Aku tak pernah suka dengan
kegiatan membaca. Bagiku, memelototi beribu-ribu rangkaian huruf tanpa ada
gambar bergerak dan efek musik sebagai pendukung adalah hal yang membosankan.
Sangat membosankan.
Untung saja tiga tahun terakhir ini
salah satu mahasiswa dari ITS mengenalkan solusi mengatasi musuh besar dalam
tanda kurung membaca. Mahasiswa tersebut menggabungkan teknologi informasi
berbasis listening yang dipadu dengan musik segar serta sinar yang dapat
memancar seperti layar televisi namun berasal dari khayalan manusia sendiri
ketika mendengarkan cerita tersebut. Hampir sama seperti kita menonton televisi
namun dengan imajinasi kita sendiri. Ajaib. Sungguh tak pernah terbayangkan
alat semacam itu bisa juga dibuat oleh otak Indonesia.
“Soya, bisa ngobrol bentar nggak?
Penting ni,”tanyaku menghentikan langkah Soya ketika akan beranjak pulang.
“Soal apa?”
Aku membisikkan sesuatu ke
telinganya.
“Oke, dimana?”
“Mm… ke taman dekat Lab. Bahasa aja
yuk!”
Soya menyetujui.
“Jadi gini, aku butuh bantuan kamu
soal joki. Kamu punya kenalan kan dalam hal ini? Soalnya aku mau pakai jasa
joki di dua mata pelajaran terakhir.”
Soya menjawab pertanyaanku dan
menjelaskannya secara rinci.
“Trus teknis kerjanya kayak gimana?”
“Bentar, bentar. Tumben elo mau pakai
jasa beginian. Bukannya temen elo si Vivi itu anti banget sama jasa kayak
gini?”
“Ya itu kan Vivi. Vivi ya Vivi. Dia
bukan aku juga bukan kamu kan? Jadi apa hubungannya dengan kerjasama ini? Ada
yang salah?”
“Sialan.
Dia malah balik mojokin gue,”batin Soya. “Elo mau gue jelasin nggak
teknisnya kayak gimana?”
“Ya iyalah masak ya iya dong. Jangan
sewot gitu, Bro. Come on, girl.”
“Gini aja deh. Ntar malem elo ke
rumah gue. Gua bakalan kasih lebih jelasnya nanti. Sekalian tanda tangan surat
perjanjian kerjasama plus gue kenalin sama joki kita, gimana?”
“Sip, thanks ya Ya.”
Yes. Urusan
dua hari selanjutnya beres. Sekarang waktunya pulang buat ngadem. Ntar malem next
ke aksi selanjutnya.
+++
“Sebelum masuk ke teknis kerjanya,
elo kudu nyiapin perlengkapannya. Gue punya beberapa pilihan tentang
perlengkapan itu sendiri. Pertama perlengkapan itu menyerupai penyadap yang
disusun sedemikian rapi dan bisa digabungkan dengan bros atau pin sebagai
tempatnya. Penyadap ini sudah diatur agar dapat berhubungan dengan joki. Nggak
ada yang bakal tahu kalau pin atau bros tersebut sebenarnya adalah penyadap.
Dalam hal ini joki pun sudah terjamin kualitasnya jadi elo nggak usah khawatir
bakalan lulus atau nggak.”
“Pilihan seloanjutnya yakni mini
glasses. Benda ini sejenis kacamata yang digunakan untuk memfokuskan target
dalam keadaan yang jauh. Disebut mini karena di dalam sebuah kacamata yang
kecil terdapat fungsi yang sangat menakjubkan. Cara kerjanya nggak sama kayak
penyadap. Kalau pakai yang ini elo nggak butuh pakai joki lagi. Cukup dengan
mencari target. Fokuskan pandangan. Setelah itu tara. Jawaban elo udah penuh.”
“Nah, cara ini nggak usah susah-susah
buat tengok sana tengok sini. Apalagi tanya sana tanya sini. Elo tinggal pakai
mini glasses ini semuanya bakal lancar. Dengan tombol yang sudah diatur dipadu
dengan kecanggihan perangkat di dalamnya mini glasses ini bisa memfokuskan
jarak pandang ke target yang dituju dengan jelas. Elo bebas mau pilih yang
mana.”
“Aku pilih yang mini glasses aja deh.
Lebih simple.”
“Oke, soal biaya bisa diatur. Lagian
hari ini jokinya nggak bisa datang. Jadi nggak apa-apa kan kalau dia nggak
datang.”
“Iya, ya udah berarti besok Rabu kamu
bawain langsung kan barangnya?”
“Siap. Kita ketemuan lagi di gudang
belakang sekolah jam enam pagi.”
“Setuju.”
Soya menyerahkan selembar surat
perjanjian kerjasama beserta peraturan-peraturan dan mengulurkan tangan sebagai
bukti kesepakatan.
“Ini uang muka dari aku. Sisanya setelah barang
sampai.”
+++
Soya
menjelaskan cara kerja dari mini glasses ini dari tombol satu ke tombol lain.
Benar-benar tidak nampak bahwa kacamata ini memiliki tombol dan perangkat
pendukung di dalamnya. Canggih.
“Thanks, Soya. Ini sisa pembayaran DP
kemarin.”
Soya
menyerahkan barang yang aku pesan. Hari ini sengaja aku meneteskan obat mata ke
mata agar tampak seperti sedang sakit mata. Setelah itu aku beralasan karena
sakit mata aku pakai kacamata yang sebenarnya dari Soya. Ok, permainan di
mulai.
“Wih,
keren juga kamu pakai kacamata kayak gitu.”
“Iya
yo. Bagus. Pantas sekali lho Dew.”
“Keren?
Aku lagi sakit mata ni. Mataku merah kena iritasi. Sakit banger tahu.”
“Walah
di kasih sakit kok marah-marah. Mbok yo
sabar saja.”
“Sabar, sabar. Emang sakit itu enak
apa? Makan nggak enak apalagi lihat sesuatu. Perih, sakit banget.”
Kemudian aku membisikkan sesuatu ke
telinga Yuslisul perihal kerjasama kemarin.
“Ha? Kamu sudah ketemu sama Soya
memangnya?”
Aku mengangguk. Aku memberi isyarat
ke arah Idhoh. Dan dia memahami isyaratku.
“Ya sudah, nanti kalau ndak bisa isyaratin aku saja. Aku siap
transfer jawaban.”
“Makasih deh sebelumnya.”
Setelah kelengkapan ujian selesai
diperiksa ternyata sisa waktu yang tersedia masih lima menit. Aku mencoba
fasilitas yang diunggulkan dari kacamata ini. Wih, emang keren banget. Semua
anak seisi kelas ini terlihat dengan sangat jelas. Nggak rugi jika aku berani
merogoh kocek yang tidak sedikit demi kacamata secanggih ini.
Untuk menghapus kecurigaan yang
kemungkinan muncul di benak teman-teman yang lainnya akhirnya aku melakukan
saran dari Yuslisul. Ketika pengawas lengah, aku melipat kertas sekecil
mungkin. Kemudian aku lemparkan ke arah Yuslisul. Diterimanya dengan sigap.
Beberapa menit kemudian setelah kondisi aman, Yuslisul memberi balasan dari
lemparan kertasku.
Setengah jam terakhir aku mulai
manjalankan aksiku. Target sudah ada di tangan. Tinggal melayangkan aksi saja.
Oke, sekarang saatnya memfokuskan pandangan ke target. Yes, target kena. Jawaban siap di salin. Cukup membutuhkan waktu
kurang dari sepuluh menit, jawaban penuh. Perfect.
Bel dibunyikan tanda ujian usai.
Semua peserta diperkenankan keluar ujian. Bersamaan dengan itu kutepuk pundak
Yuslisul. Dia berbalik memandang ke arahku.
“Terimakasih, Yus.”
“Sama-sama kawan.”
+++
“Wah nggak terasa kita udah diujung
ujian ya. Syukur banget, lega rasanya.”
“Iya ni, Vi. Wah seneng banget kamu.
Pasti udah capek ya belajar terus?”tanya Idhoh.
“Ya nggak sih. Habis ini kan masih
ada test masuk PTN kan?”
“Oh iya. Wah, salut deh aku sama
kamu.”
“Apaan sih. Biasa aja kok, Ja.”
“Eh iya Dew, gimana ceritanya kamu
dapat mini glasses itu.”
“Iya, jadi gini. Soya kasih pilihan.
Penyadap sama kacamata ini. Kalau pakai penyadap sebenarnya lebih mudah karena
udah ada joki yang ngebantu kita dan dijamin kelulusannya. Tapi kalau pake
kacamata ini lebih canggih lagi. Kita tinggal pakai terus fokuskan ke target.
Siap salin jawaban deh.”
“Wih, canggih juga ya. Boleh ndak aku cobain.”
Aku menyerahkan mini glasses ke
Yuslisul. Terlihat mataku masih memerah.
“Kirain beneran sakit mata. Habisnya acting kamu bagus banget. Calon aktris
ni ye?”goda Idhoh.
“Apaan sih. Aku aja cuek kok.”
+++
Kelulusan sudah diumumkan dan kembali
sekolah kami meraih nun tertinggi terbaik di tingkat Jawa Timur. Dua anak di
jurusan ips dan tiga anak di jurusan ipa. Tapi, kabar siapa peraih nun
tertinggi tersebut belum diumumkan. Biasanya diumumkan saat perpisahan umum
bersama adik kelas yang dihadiri pula orang tua atau wali murid.
Hari ini perpisahan umum digelar.
Tepat pukul setengah delapan acara dimulai. Dengan kostum bertema Modernisasi
VS Tradisional, kelasku dapat jatah memakai kostum modern. Tanpa pikir panjang
seperti biasa aku memakai celana jeans dipadu dengan kaos oblong serta rompi di
bagian luarnya. Memakai sepatu vantofel yang berukuran sedang. Tak ketinggalan
pula alunan musik dari headset yang
tak pernah kutanggalkan. Acara demi acara dilangsungkan penuh rasa bahagia
melepas kelulusan siswa siswi angkatanku. Ketika sedang asyiknya aku menikmati
acara, Miss Aza memanggilku. Aku segera menghadap beliau. Di mushola beliau
menungguku.
“Ada apa Miss memanggil saya?”
Miss Aza mengulurkan tangannya.
Kusambut pula uluran tangannya kemudian beliau berkata.
“Congratulation for your achievement. Kamu masuk dalam kategori tiga anak peraih nun
tertinggi se-Jawa Timur.”
“Benarkah itu, Miss?”
Raut kegiranganku muncul dengan
perasaan berdebar. Namun, kegiranganku terpotong oleh pertanyaan serius dari
beliau.
“Apa yang dapat kamu janjikan
terhadap diri kamu sendiri?”
“Apa maksud Miss?”
“Kamu lebih tahu daripada Miss, Nak.”
“Maksud Miss? Saya tidak mengerti.”
“Mini glasses kamu memang hebat. Tapi
Miss yakin kamu lebih hebat dari benda buatan manusia itu.”
“Bagaimana Miss bisa tahu.”
Miss Aza hanya tersenyum lembut.
“Hubungi Ibu jika kamu sudah diterima
di perguruan tinggi negeri dan siap berlayar ke luar negeri. Dan ketika ambil
S1, kamu harus selesai dalam waktu tiga tahun setengah. Sukses ya, Nak,”pesan
Miss Aza sembari meninggalkanku yang sedang bengong.
Gila. Kok jadi gini sih masalahnya.
Harus lulus S1 dalam waktu tiga tahun setengah dan harus ke luar negeri?
Tantangan macam apa ini. Oh Tuhan, kenapa jadi seperti ini?
JOKI
MASA KINI
Cerpen
Cerpen bertema Pendidikan ini disusun untuk memenuhi tugas
Bahasa Indonesia kelas XII semester II
Disusun oleh siswa XII IPA 2 :
1.Azharia
Roja [05]
2.Dewi
Yulaikah [07]
3.Idhoh
Lailatul M [17]
4.Yuslisul
Pransiskasari [24]
5.Nafisatun
Nihayah [29]
Pembimbing :
Nuryatin,
S.Pd
MADRASAH ALIYAH NEGERI KOTA KEDIRI 3
Jalan Letjen
Suprapto No: 58 Telp (0354)687876 Kediri
Aku kadang tidak enak ketika mau membuat sebuah tulisan yang ditujukan kepada orang Indonesia itu. Bukannya kenapa, tapi orang Indonesia itu kebanyakan sudah ppintar atau tepatnya merasa sudah pada pintar semua. Jadi ketika saya membuat sebuah tulisan yang mungkin temanya sama, jarang sekali yangbmau membacanya. Saya seolah menggurui seorang ilmuan, hehehe…. Orang jawa bilang: Nguyahi segoro. Samudra kok sigarami, ya nggak ada manfaatnya, kira-kira begitu.
Tapi apakah itu sebenarnya yang benar menurut agama kita? Bukankah dalam agama kita disuruh untuk tetap mendengarkan segala ilmu walaupun itu telah didengar seribu kali? Sesungguhnya itulah yang sebaiknya kita lakukan. Orang yanbg berilmu bukanlah mereka yang sudah bosan dengan ilmu itu setelah didengarnya satu kali, tapi orang yang berilmu adalah mereka tang tetap antusias walaupun ilmu itu telah didengarnya seribu kali. Bedgitulah menurut kitab Ta’limul muta’alikm.
Sejurus dari kenyataan itu, kadangorang kurang tertarik dengan ilmu yang dibicarakan oleh orang yang derajtnya di bawahnya. Hal ini sebenarnya ironi. Bagaikmana tidak? Ilmu yang begitu bermanfaat jadi tak tersampaikan kepadanya. Seolah dia dikasih makanan lezat tapi dia menulaknya mentah-mentah. Bagaimana seharusnya? Jika kita mau sedikit mengesampingkan ego, kita akan mendapatkan makanan lezat itu.
Sudahlah, tak usah peduli siapa itu. Selana nasehat itu bagus, kenapa tidak? Walaupun toh itu berasal dari kaum sudra sekalipin. Orang arab dalam syairnya mengatakan:
Lihatlah apa yang dikatakan. Jangan melihat siapa yang mengatakan
Nah, kini masihkan rasa angkuh menghalangimu dari tersampainya sebuah alat pengangkat derajat manusia(ilmu) itu? Sebuah mutiara telah ada di depanmu dan diberikan kepadamu tapi kamu tak mau mengambilnya, sebuah roket berkecepatan cahaya dipersilahkan untuk kau kendarai tapi kau menolaknya, kunci istana diserahkan cuma-cuma kepadamu dan kamu menolaknya hanya karena yang memberinya seorang budak yang atheis. Ah sungguh malang nian nasip si angkuh…..